Dunia Siber, Elite yang Ribut, Warganet yang Bonyok..
Dunia siber adalah medan pertempuran. Robert Deibert, peneliti politik digital dari Kanada, berargumen bahwa dunia siber yang kini kian meluas berada pada fase “kontestasi” saat negara, korporasi, warga negara, dan berbagai kelompok sosial beradu, berkompetisi dan bahkan berkolaborasi demi kepentingan mereka. Kontestasi ini berlangsung terus, sebelum dan sesudah pemilu. Meski demikian, dengan semakin riuhnya pertarungan elektoral 2024, susah bagi kita untuk menghindari panasnya konflik di dunia siber.
Karena itu, ada baiknya saya mengingatkan Anda kembali. Melalui tulisan ini, efek nyanyian propaganda yang bisa mengaburkan perspektif Anda mengenai suatu hal, sehingga tanpa sadar dan bukan tidak mungkin malah merasa heroik ketika Anda ikut berjasa melanggengkan sistem kuasa yang kian oligarkis dan rezim politik yang semakin tidak memihak kepentingan khalayak. Satu hal: tidak mudah buat orang kritis sekalipun untuk lepas dari nyanyian propaganda digital. Alasannya sederhana: dunia siber bukan ruang yang netral.
Dunia siber tidak pernah menjadi medan yang netral bagi semua pihak. Terlebih bagi warganet biasa yang tidak punya akses terhadap bagaimana kuasa kapital mengatur algoritma konten di linimasa, atau bagaimana kuasa negara digunakan untuk “meregulasi” apa yang boleh dan tidak boleh dikatakan di dunia siber.
Tidak mudah bagi pengguna medsos untuk lari dari jebakan algoritma raksasa digital semacam Meta, Alphabet dan Amazon. Mereka tidak akan pernah berkedip sekalipun dalam mencatat segala apa yang kita baca dan lihat di linimasa. Bagi mereka, pengguna medsos tak lebih dari komoditas, kalau bukan semata bahan mentah dalam proses produksi data sebagai produk utama kapitalisme digital.
Di sisi lain, tata kelola dunia siber kita tidak bisa lepas dari kepentingan segelintir elite yang menjadi basis sosial negara sebagai pembuat kebijakan. Dalam kasus Indonesia, oligark punya peran yang luar biasa besar tidak hanya dalam merumuskan kerangka hukum, tapi juga bagaimana kuasa negara digunakan di dunia siber.
Itu sebab filsuf teknologi Langdon Winner sudah wanti-wanti sejak mula teknologi komputer merambah kehidupan sosial kita, bahwa mengakselerasi “distribusi informasi” bukan resep yang mujarab untuk menyuburkan demokrasi. Karena teknologi semacam itu tidak secara otomatis mengubah keseimbangan kuasa antar-kelompok sosial yang berbeda. Dengan kata lain, mereka yang punya sumber daya politik-ekonomi berlimpah yang akan menentukan informasi apa yang akan melintas di linimasa kita.
Di sini kita jadi bertanya, apakah informasi benar-benar bebas di dunia siber?
Menurut Winner, banyak orang kesirep dengan apa yang disebutnya mythinformation. Orang berpikir bahwa internet adalah “teknologi pembebasan” yang berpihak pada khalayak. Pada akhirnya, bukankah yang diuntungkan internet adalah mereka yang punya sumber daya besar untuk membayar pemengaruh, pendengung, dan pengasong likes?
Dari sini, kita bisa melihat ada relasi kuasa yang asimetris di dunia siber antara elite yang ingin mempertahankan hegemoni dan para penantang mereka, termasuk, mungkin, netizen kritis seperti Anda. Akan tetapi, yang lebih menjadi soal adalah fakta bahwa konflik di dunia siber tidak melulu hadir sebagai pertarungan antara Daud dan Goliat. Dalam banyak kasus, konflik itu terjadi pada level elite saja. Sementara warganet saling berkelahi untuk mereka. Dalam skenario ini, siapapun yang menang kontes, yang babak belur adalah akar rumput.
Kita bisa belajar banyak tentang bagaimana nyanyian propaganda diproduksi di dunia siber dengan melihat hubungannya dengan konflik antar-elite di negara kita. Dalam banyak kasus, propaganda digital merajalela ketika konflik elite memanas, entah karena pemilu sudah dekat atau karena kepentingan mereka terancam pihak lawan.
Ini terjadi bukan hanya karena arsitektur dunia siber yang cenderung memihak elite, seperti yang dijelaskan di atas, tetapi juga karena sistem kuasa di negara kita yang bersifat oligarkis.
Di Indonesia, kontrol atas lembaga publik menjadi bagian yang tak terpisahkan dari formasi dan langgengnya kapitalisme. Di sisi lain, gerakan massa progresif yang mengakar dan terorganisir masih sebatas cita-cita, sementara karakteristik dari berbagai konflik besar di dunia siber kita sering kali bersifat elite-driven.
Maka, konflik yang terjadi selama ini, apalagi zaman ketika warganet terbelah antara cebong dan kampret, tidak bisa dibilang sebagai konflik sosial yang terjadi secara organik. Konflik itu, polarisasi itu, dimanufaktur oleh faksi-faksi oligarkis yang saling bertarung demi kepentingan politik-ekonomi mereka.
Kontestasi politik 2024 jadi momen mawas diri tentang betapa konyol polarisasi yang terjadi pada pemilu sebelumnya. Dalam sekejap, kadrun dan kampret menjadi istilah yang kehilangan maknanya. Itu karena konfigurasi elite oligarki berubah, dan loyalitas para pemengaruh dan pendengung pun berubah: kawan jadi lawan, lawan jadi kawan. Karenanya, dalam sekejap narasi pemilu pun jungkir balik gak keruan.
Pendengung (buzzers), meski boleh jadi mereka percaya bahwa apa yang mereka lakukan adalah bentuk partisipasi politik, bukan agen sosial yang sepenuhnya organik. Secara ilmiah, mereka disebut astroturfers, yang berasal dari kata astroturf (rumput buatan). Mereka, kata peneliti, adalah akar rumput jadi-jadian. Dalam bahasa sehari-sehari, selain pendengung, mereka juga dikenal sebagai cybertroopers atau 50-centers.
Tentu saja kita punya kebebasan untuk menilai kualitas calon pemimpin. Pastinya ada alasan rasional dan objektif untuk memilih atau tidak memilih satu calon. Masalahnya, tak semua propaganda itu informasi bohong, dan sebaliknya, tak semua informasi bohong bisa disebut propaganda.
Propaganda, mengutip Hyzen, adalah kampanye informasi yang bersifat jangka panjang untuk melanggengkan ideologi atau cara pandang tertentu, mengelola opini dan menjaga loyalitas satu kelompok atau sebagian besar populasi. Itu artinya propaganda bisa dan bahkan semakin manjur kalau bersifat faktual.
Akan tetapi, penting digarisbawahi bahwa propaganda itu bersifat one-sided. Satu pihak bisa saja berteriak capres lain pelanggar HAM, tapi secara aktif mengubur fakta bahwa capres yang ia dukung juga berkawan dengan banyak pelanggar HAM. Satu pihak bisa jadi bilang capres lain intoleran dan sektarian, tapi sama sekali diam ketika capres yang ia dukung menggunakan cara-cara sektarian untuk menjaring suara.
Bisa saja pendengung salah satu capres berteriak lantang membela demokrasi dan konstitusi ketika inkumben dituduh mengkooptasi lembaga tinggi negara untuk kepentingan keluarganya. Kegelisahan mereka tentu saja valid. Hanya saja, kritik atas rusaknya demokrasi di bawah kepemimpinan inkumben sudah disuarakan sejak lama. Dulu, mereka bukan cuma diam tapi malah mendiskreditkan kritik tersebut.
Di sini, posisi politik pemengaruh (influencers) atau pendengung menjadi faktor yang bisa menentukan apakah kampanye digital bisa disebut propaganda semata. Dan, tentu, kita harus sadar bahwa kebenaran yang parsial (half-truth), pengaburan (obfuscation), pengalihan isu (red herring) bisa jadi lebih ampuh ketimbang berita bohong (hoax).
Penting untuk memahami keterbatasan politik Indonesia di bawah hegemoni oligarki. Ketiga capres yang beradu saat ini adalah produk politik elite yang masih bekerja dalam kerangka sistem kuasa oligarkis, termasuk dalam strategi media sosial mereka yang masih bergantung pada ekosistem industri pendengung dan pemengaruh. Tentu, banyak pendukung mereka yang betul-betul organik, dan narasi kampanye mereka boleh jadi beririsan dengan agenda sosial dan politik warganet progresif.
Hanya saja, narasi kelompok progresif pun rawan ditunggangi pendengung yang merepresentasikan kepentingan elite, bukan khalayak. Adalah fakta bahwa narasi “capres pelanggar HAM” dijadikan alat politik pada 2014. Karena sebagian politisi dan pendengung yang dulu lantang mengamplifikasi narasi itu kini berpandangan bahwasanya “pelanggaran HAM” bukanlah persoalan yang serius. Sama halnya dengan narasi “bapak politik identitas” pada 2017 dan 2019. Karena dua kubu elite saat itu menggunakan taktik yang sama hanya berbeda dalih saja: yang satu Islam, yang lain Pancasila.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Kita bisa mulai dengan senantiasa mengevaluasi cara pandang kita tentang suatu hal, atau sikap kita pada seseorang, terutama pejabat publik. Kalau terlalu suka, atau terlalu antipati, boleh jadi itu karena ada arus informasi yang tidak berimbang yang berseliweran di linimasa Anda. Boleh jadi itu ulah algoritma Meta atau Twitter semata, atau ulah oligarki dan para pendengung bayaran mereka. Yang jelas, linimasa kita tidak pernah bebas dari kepentingan, dari mesin propaganda kuasa politik dan kapital.
Membaca banyak berita dari media terpercaya, yang dikenal kuat disiplin jurnalismenya, juga bisa menjadi penangkal. Meskipun, kita harus sadar sepenuhnya bahwa konten media mainstream juga tidak bebas kepentingan. Tapi paling tidak, disiplin jurnalisme bisa mengurangi elemen propaganda sebuah berita.
Yang tidak kalah penting adalah berusaha untuk mengambil jarak dari narasi utama yang diamplifikasi para pendengung — terlepas dari substansinya — agar kita bisa mendudukkan persoalan politik dari sudut pandang yang lebih komprehensif, agar kita bisa mengambil keputusan politik yang lebih etis dan rasional.
Langkah pertama yang harus diambil adalah membebaskan diri segala bentuk fanboyism dan kebencian mendalam pada tokoh yang hanya akan menjadikan Anda sasaran empuk propaganda dan disinformasi. Dari sini, mungkin, perdebatan politik yang lebih dari sekadar gontok-gontokan bisa dimulai di dunia siber.
Tentu saja ini bukan solusi atas relasi kuasa asimetris di dunia siber. Itu soal lain yang bisa dibahas lain waktu. Tapi paling tidak bisa membantu Anda mengambil keputusan politik yang lebih baik di musim pemilu, dan tidak ikut berkelahi dengan sesama demi kepentingan sesaat elite, yang bisa berubah kapan saja, bukan karena perbedaan ideologi, tapi pragmatisme politik dan ekonomi belaka.
Jangan sampai elite yang ribut, kita yang babak belur.